Sabtu, 07 November 2015

Jasa Pembuatan Skripsi Hukum 0821 3666 8777 Thesis Hukum

Jasa Pembuatan Skripsi Hukum 0821 3666 8777 Thesis Hukum
Skripsi Hukum Lengkap
Skripsi Disini Dimaksudkan Untuk Membantu Para Mahasiswa Fakutlas Hukum Yang Membutuhkan Bantuan Dalam Penyusunan Skripsi Hukum, Untuk Informasi Lebih Lanjut Dapat Dihubungi kami menyediakan judul, outline, permasalahan, dan dapat berkonsultasi gratis via email jika anda terbentur mengenai penyusunan skripsi anda.

About me | CONTACT  US
Hubungi Kami Free
WhatsApp: +62815-16456-90 & +62821-3666-8777 & +62858-68-522-112.

PIN BBM: 2BAAF273 & 2BD7AFA4.

online 24 JAM, via email: o8151645690@gmail.com(Hangouts)


---------Jasa buat skripsi murah dan terjamin---------
Skripsi, Tesis Hukum (meliputi hukum pidana, hukum perdata, hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum administrasi negara, hukum tata usaha negara, hukum datang, hukum adat, hukum peradilan agama, hukum acara peradilan agama, hukum Islam, hukum pajak, hukum perbankan, hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum agraria, kenotariatan, hukum ketenagakerjaan, hukum bisnis, HaKI/Hak Cipta, Paten, Merek).

Contoh Skripsi Hukum Pidana
Hubungan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

A.Latar Belakang
Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. 
Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut : criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

Hagan membedakan pengertian antara criminal justice process dan criminal justice system. criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah, sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, peradilan dan pemasyarakatan terpidana.2 Dalam kesempatan lain Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dari suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : (a). mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b). menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan (c). mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak menangulangi lagi kejahatannya.

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice system. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut : (1). Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan, masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama; (2). Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana) dan (3). Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak selalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

Menurut Romli Atmasasmita pengertian sistem pengendalian dalam batasan tersebut di atas merupakan bahasa manajemen yang berarti mengendalikan atau menguasai atau melakukan pengekangan (mengekang). Dalam istilah tersebut terkandung aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sedangkan apabila sistem peradilan pidana diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law inforcement maka di dalamnya terkandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum (certainty). Di lain pihak apabila pengertian sistm peradilan pidana dipandang sebagi bagian dari pelaksanaan social defence yang terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan kegunaan (expediency). 
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) yang peradilan menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Adapun makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam : (1). Sinkronisasi struktural (structural syncronization); (2). Sinkronisasi substansial (substantial syncronization); (3). Sinkronisasi kultural (cultural syncronization). 

Prinsip deferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan pengelompokan tersebut, diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instasi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf permulaan Penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksaan keputusan pengadilan oleh kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling ceking diantara sesama aparat penegak hukum dalam suatu rangkaian integrated criminal justice system. 

Oleh karena itu, kurang sependapat dengan yang melihat deferensiasi fungsional secara instansional tidak realistis, serta akan mendorong aparat Penyidik lebih tergoda untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dalam proses Penyidikan, penangkapan dan penahanan. Anggapan seperti itu lambat laun akan hilang, apabila lebih seksama melihat saling adanya kaitan yang berkelanjutan dalam suatu mekanisme saling mengawasi antara satu instansi dengan instansi penegak hukum yang lain.

Penjernihan deferensiasi fungsi dan wewenang, terutama diarahkan antara kepolisian dan kejaksaan seperti yang dapat kita baca pada pasal 1 butir 1 dan 4 jo, pasal 1 butir 6 huruf a jo. Pasal 13 KUHAP, ketentuan yang digariskan pada pasal-pasal dimaksud ditegaskan : (a). Penyidik adalah setiap pejabat Polisi Negara RI (pasal 4); (b). Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (pasal 13).

Penyidik dan kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan hakim. Untuk lebih jelas mari kita bandingkan ketentuan pembagian deferensiasi fungsi KUHAP dengan yang diatur dalam pasal 39 HIR maupun yang terdapat pada ketentuan Undang-Undang No. 15/1961 (Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kejaksaan).
Pada pasal 39 HIR, ada beberapa pejabat yang ditunjuk sebagai pegawai Penyidik : (1). Kepala Desa, Kepala Kampung, Pegawai Polisi Pamong Praja; (2). Kepala Kewedanan, Kepala Kecamatan, dan mantri polisi yang diperbantukan kepada mereka ; (3). Sekalian pegawai kepolisian negara; (4). Semua Jaksa dan Pengadilan Negeri.

Akibat adanya ketentuan pasal 39 HIR, ditambah lagi dengan kesimpangsiuran yang diatur dalam pasal 46 HIR yang menyebut adanya pegawai Penuntut Umum serta ada pula jaksa pembantu seperti yang diatur dalam pasal 53 HIR. Tambah tak menentu lagi penggarisan yang terdapat dalam pasal 12 Undang-Undang No. 13/1961 (undang-undang Pokok Kepolisian) yang menyebut polisi sebagai Penyidik dan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 15/1961 yang menggariskan pula : kejaksaan mempunyai tugas mengadakan Penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasi alat-alat Penyidik.

Terlihat adanya tumpang tindih fungsi Penyidikan, bahkan pada saat sebelum berlakunya KUHAP Hansip dapat berperan sebagai aparat Penyidik dan sering melakukan penangkapan dan penahanan tanpa dasar hukum. tumpang tindih dan ketidakjernihan fungsi Penyidikan, diperbaiki KUHAP dengan memberikan landasan deferensiasi fungsi secara instansional, dengan menegaskan dan memberi wewenang kepada : (a). Kepolisian sebagai instansi Penyidik tunggal, tanpa campur tangan jaksa sebagai Penyidik atau Penyidik lanjutan maupun sebagai koordinator alat-alat Penyidik. Dengan demikian, apa yang ditentukan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 15/1961 telah dihapus oleh ketentuan pasal 6 KUHAP; (b). Jaksa, dijernihkan wewenangnya sebagai instansi Penuntut Umum, setelah hasil Penyidikan disampaikan pihak kepolisian kepadanya. Jaksa tidak dibenarkan lagi ikut campur tangan dalam proses Penyidikan.

Dengan demikian, berarti KUHAP telah menggariskan tugas wewenang masing-masing instansi aparat penegak hukum : polisi berkedudukan sebagai instansi Penyidik dan kejaksaan berkedudukan pokok sebagai aparat Penuntut Umum dan pejabat pelaksana eksekusi putusan pengadilan, sedang hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili, seperti yang ditegaskan dalam pasal 1 butir 8. Akan tetapi sekalipun KUHAP menggariskan pembagian wewenang secara instansional, KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititikberatkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas tanggungjawab saling mengawasi dalam sistem ceking antara sesama mereka. Malahan sistem ini bukan hanya meliputi antar instansi pejabat penegak hukum polisi, jaksa dan hakim, tetapi diperluas sampai pejabat Lembaga Pemasyarakatan, penasihat hukum dan keluarga tersangka/terdakwa.

Dengan adanya penggarisan pengawasan yang berbentuk saling mengawasi, KUHAP telah mencipta dua bentuk sistem pengawasan dan pengendalian pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia : Pertama; Built in control. Pelaksaan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan. Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan sendirinya pada setiap struktur organisasi jawatan. Seperti Kepala Kejaksaan Negeri mengawasi seluruh satuan kerja dan para jaksa yang ada dalam lingkungan kejanya. Selanjutnya kepala kejaksaan negeri dikontrol oleh kepala kejaksaan tinggi dan seterusnya. Demikian juga kepolisian dan pengadilan; masing-masing diawasi oleh atasan mereka sesuai dengan struktur organisasi instansi yang bersangkutan. Akan tetapi yang menjadi pembahasan kita dalam asas pengawasan yang digariskan KUHAP, bukan built in control. Yang akan dijelaskan adalah pengawasan, sistem saling mengawasi diantara instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan yang dijumpai dalam beberapa pasal KUHAP. Kedua; seperti yang disinggung di atas, demi untuk tercapai penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi, penegakan hukum harus diawasi dengan baik. Semakin baik dan teratur mekanisme pengawasan dalam suatu satuan kerja, semakin tinggi prestasi kerja, karena dengan mekanisme pengawasan yang teratur, setiap saat dapat diketahui penympangan yang terjadi. Jika sedini mungkin penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk mengembalikan penyimpangan kearah tujuan dan sasaran yang hendak di capai.

Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunan wewenang dalam pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP telah mengatur suatu sistem pengawasan berbentuk sistem ceking di antara sesama instansi. Malah di dalamnya ikut terlibat peran tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem ceking ini merupakan hubungan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini berarti masing-masing instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar. Antara instansi satu dengan instansi yang lain tidak berada di bawah atau di atas instansi lainnya. Yang telah ada ialah koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi. Masing-masing saling menempati ketentuan wewenang dan tanggungjawab, demi kelangsungan dan kelanjutan penyesuaian proses penegakan hukum. Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksaaan koordinasi dan sinkrinosasi penegakan hukum. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahasnya dalam suatu karya ilmiah dengan judul : Hubungan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Sistem Peradilan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

B. Permasalahan
1. Bagaimana hubungan Penyidik dan Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana umum ?.
2. Bagaimana hubungan Penyidik dan Penuntut Umum dalam perkara pidana khusus?.